Sang Warna

Inginku mencari ‘warna’ untuk menghiasi hati yang hampa. Aku mencobanya. Tapi, tak satupun mereka memperindahku. Warna mereka tidak pas untukku. Hanya dia―warna yang telah pudar―yang mampu menghiasi. Hati hampa, hidup pun datar. Waktu berlalu cepat. Aku pun sadar akan sesuatu―yang sebagaimana akan membuatku malu―bahwa Aku mulai kesepian. Akankah aku menemukanmu wahai sang warna? Dimanakah engkau singgah?

Orang bilang sendiri itu bebas. Tapi bagiku merupakan keterpurukan. Tiada hari tanpa warna yang menghiasi. 

Apa salah jika memaksakan warna?


Ya dan Tidak, karena Aku telah mencobanya. Terkadang memaksa mereka membuahkan hal baik dan buruk. Mungkin sebagian dari si penunggu membuahkan hasil yang bagus. Tapi, lain halnya denganku. Sang warna menjadi patah dan terkikis sehingga tak menyisakan satu pun untuk ku kenang. Malah menyisakan sayatan-sayatan kecil yang berbekas.

Lantas apakah pantas hanya mempertahankan ego?


Entahlah, tanyakan saja kepada warna karena Aku sendiri tidak tahu. Mungkin mereka yang merasakannya. Tapi entah mengapa disini rasanya sakit seperti tertusuk seribu jarum. Lebay pastinya. Tapi, ketahuilah bahwa apa yang kurasakan ini benar apa adanya. Bayangkanlah ketika kau memaksa seseorang dan melihat air mata penderitaan mereka, pastilah terbersit perasaan senang, gundah, kecewa dan sakit. Ya, sakit karena ternyata seseorang itu tak cocok denganmu dan kau memaksakan kehendak sendiri. 

Hidup itu penuh liku. Karena kalau tidak, tidak akan berwarna seperti Sang Warna 

 

Comments

Popular posts from this blog

Ibuku.....Pahlawanku.....

Lelaki bodoh

Warna Kenangan